Prinsip hidup seorang tukang pijat.

Ini hanyalah obrolan biasa dengan seorang tukang pijat dikampung ketika ane pulang kampung kemarin.  Sebut saja namanya Mbok Mijah yang merupakan tetangga satu desa dengan kampung ane. Perempuan setengah abad lebih ini begitu cekatan dan rosa perkasa untuk memijat ane, istri dan anak ane secara bergantian. Meskipun satu desa ane belum begitu mengenal Mbok Mijah ini sehingga obrolan pun mengalir sembari aktivitas memijat.

Mbok iki sak benere ora tukang pijet le.. (Mbok ini sebenarnya bukan tukang pijet nak)” tuturnya mengawali obrolan. Ane pun agak kaget kok bisa bagaimana awal mulanya ia berganti profesi menjadi tukang pijat ditengah sisa-sia usianya. Pada waktu dahulu beliau sebenarnya termasuk keluarga kaya dan terpandang dikampung kami,  beliau punya toko kulakan dipasar, persewaan piring dan sepeda motor (sesuatu yang masih langka kala itu). Meskipun begitu beliau tidak sombong dan pasang tarif untuk persewaan piring dan motor yang kadang kala di pinjam tetangganya. Bahkan jumlah piring berkurang/pecah dan motor dikembalikan dalam kondisi bensin habis pun pernah dialami namun sekali lagi beliau tidak pernah marah atau dendam.

Bencana atau cobaan di penghujung tahun 2000 itu datang. Toko kulakan dipasar habis dilalap sijago merah tanpa ada yang tersisa padahal barang-barang masih baru nyetok semua. Hampir semua pedagang dipasar tersebut stress dan sedih berkepanjangan tanpa terkecuali. “la anehe iku ono sing wis Kaji kok yo melu stress, nek aku laopo stress…aku sik duwe iman… wong ndisik lahir wudho trus bali maneh yo wudho, bondho iku mung titipan (Yang aneh ada yang sudah berhaji tetapi kok ikut-ikutan stress, kalau aku tidak karena aku masih punya iman..dahulu lahir kita tidak punya apa-apa dan akan kembali juga tanpa membawa apa-apa, harta hanyalah titipan Tuhan)” ujarnya dengan penuh semangat.

Beberapa saat setelah itu pasar pun dibangun, beliau lebih memilih menjual lapak atau standnya agar bisa melunasi hutang-hutangnya. Alasanya cukup sederhana namun cukup mengena yakni agar hidupnya tenang tanpa dikejar-kejar hutang. Semenjak itulah Mbok Mijah banting stir menjadi tukang pijat hingga kini untuk menghidupi anak dan cucunya.  Sampai saat ini ternyata pelanggannya sangat banyak bahkan lintas kampung dan lintas kota dan beliau memijat mulai dari bayi, anak-anak, ibu melahirkan, pijat badan pegal hingga pijat urut perut (dimana tidak sembarang orang bisa).

“Aku mijet iki ora dagangan lho le, aku mung syukur nikmate Gusti Allah (Aku menjadi tukang pijat ini bukan berdagang nak, saya hanya bersyukur dari nikmat Gusti Allah) kata Mbok Mijah yang memang tidak menentukan tarif ketika memijat ini. Prinsip inilah yang justru terkadang membuat pelangganya memberikan tarif berlebih dengan sekali mijat yang hampir selama 3 jam non stop. Bayangkan aja umur sudah tua tetapi hampir setiap hari tidak ada liburnya bahkan apabila sabtu minggu atau musim liburan maka pelanggan harap sabar mengantri. Duh rezeki emang tidak kemana…

Sembari memijat beliau tidak henti-hentinya memberikan petuah untuk ane terutama agar lebih berbhakti kepada orang tua. Apalagi kedua orang ane masih lengkap sehingga sudah seyogyanya memberikan perhatian yang lebih. Dan yang membuat ane angkat topi beliau mengaku tidak merasa risih atau malu menjalani aktivitas mijat ini meskipun dulunya dari kalangan orang kaya terpandang. “Hidup itu harus dinikmati “pungkasnya. Makasih Mbok atas petuahnya, badan pegal hilang dan pikiran pun menjadi tenang.

Maturnuwun

baca juga :

Comments

comments

Tentang setia1heri 5683 Articles
Seorang Bapak dengan 3 anak. Suka jalan-jalan dan corat-coret tulisan perjalanan. Hobi berkendara menunggang roda dua. Tak paham kuliner namun tidak ada makanan yang dicela alias doyan semua...hehehe. Maturnuwun. follow twitter : @ setia1heri

8 Comments

  1. Karena tukang pijat, namanya Mbok Mijah. Tapi kalau tukang pijit, namanya Mbok Mijih 🙂

  2. subhanaullahh …. tegar sekali orangtua ini … 🙂 bangga saya melihatnya …

    patut ditiru petuahnya …
    nice info ..

Monggo dikomeng gans..