Paradoks Cuti bersama (2011)

Paradoks  Cuti bersama (2011)

Setelah sebelumnya tanggal 16 Mei ditetapkan sebagai cuti bersama untuk ‘mengiringi’ tanggal 17 sebagai Hari Waisak. Rentang sekitar tiga minggu kemudian atau tanggal 3 Juni ditetapkan pula sebagai cuti bersama untuk ‘menggenapi’ tanggal 2 sebagai Hari Kenaikan Yesus Kristus. Kalau cuti bersama tanggal 16 Mei terkesan mendadak dangdut maka untuk tanggal 3 Juni telah diumumkan jauh-jauh atau sekitar 2 minggu sebelum hari H.

Bagaimana tanggapan masyarakat ? kalau pada cuti tanggal 16 banyak yang ‘syok’ dan bingung, maka cuti tanggal 3 Juni ini hampir tidak ada ‘pergolakan’ yang berarti. Jadwal dan acara telah disusun sedemikian rupa untuk mengisi liburan panjang cuti bersama. Tentu hal ini berlaku untuk mereka-mereka yang ‘beruang’ sedangkan bagi penderita ‘kanker’ alias kantor kering lebih baik tidur-tidur dan malas-malasan di rumah….xixixi. Tidur bangun kesiangan, Makan sambil nonton teve trus tidur lagi….. 😛

Ditengah gegap gempitanya masyarakat menikmati cuti bersama ternyata ada beberapa yang ‘kesal’ dan ‘membingungkan diri’. Tercatat bidang pariwisata harus melakukan penjadwalan ulang karena jadwal yang telah ditata setahun sebelumnya harus mengalami perubahan. Jadi kawan, cuti bersama yang kita nikmati ini merupakan ‘revisi’ cuti bersama yang telah ditentukan setahun sebelumnya. Selain itu, ‘bonus’ cuti ini sebenarnya juga mengurangi jatah cuti tahunan bagi karyawan dan PNS yakni dari 10 hari kerja tinggal 8 hari kerja.

Mereka yang ‘kesal’ adalah para pekerja, karyawan atau PNS di perantauan yang nun jauh disana tapi masih wilayah NKRI lho 😀 . Keputusan cuti bersama ini membuat jatah cuti tahunan mereka berkurang. Hal ini tentu berimbas dengan terbatasnya waktu  untuk melepas rindu, bercengkrama dan bernostalgia dengan kampung halaman tercinta. Sebagai contoh, bisa dibayangkan mereka yang bekerja di Papua terus kampung aslinya adalah Medan. Tentu biaya akomodasi yang harus dikeluarkan sangat besar untuk pulang kampung. Namun biaya besar ini tidak berbanding lurus dengan ‘kepuasan bathin’ yang didapat ketika lepas rindu di kampung halaman akibat waktu yang cukup sempit. Apalagi perjalanan pulang di tempuh lewat jalur laut atau jalur darat, bisa-bisa dikampung hanya sehari karena waktu banyak dihabiskan di perjalanan.

Kita memang harus berempati untuk mereka-mereka yang harus menanggung ‘ketidakadilan’ keputusan pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) para menteri ini. Tetapi disisi lain kita harus memahami dan mengikuti rasionalisasi-rasionalisasi atau pertimbangan yang dibuat untuk memutuskan cuti bersama ini. Sebagai warga negara yang baik tentu kita harus menghormati keputusan pemerintah walaupun ada yang nyelethuk, “ Cuti bersama adalah bukti (mentalitas) kemalasan kita?”. Benarkah ?

Comments

comments

Tentang setia1heri 5683 Articles
Seorang Bapak dengan 3 anak. Suka jalan-jalan dan corat-coret tulisan perjalanan. Hobi berkendara menunggang roda dua. Tak paham kuliner namun tidak ada makanan yang dicela alias doyan semua...hehehe. Maturnuwun. follow twitter : @ setia1heri

7 Comments

  1. betul mas bro….saya termasuk orang yang BENCI akan cuti bersama ini…bukti malas dan ego individualistis aparatur dari pemerintah kita ..yang mau makan gaji buta… harusnya ga perlu ada nyang namanya cuti bersama itu…ingat…waktu adalah uang…

Monggo dikomeng gans..